Irlandia mungkin memang telah ditakdirkan menjadi tempat asal para musisi berbakat. Mereka banyak, dan terhampar. Salah satunya tengah terlihat di jalanan kota Dublin, disuatu malam yang dingin. Totalitas suaranya –yang diiringi petikan gitar- menggema kencang saat itu, ketika suasana mulai merayap sunyi. Ini memang bukan konser besar, dan bukan pula sebuah pertunjukan dengan barisan penonton yang duduk berderet rapih. Musisi itu, hanyalah penyanyi jalanan. Selain gitar, dia hanya ditemani dengan tas gitarnya yang terbuka lebar, tempat dimana orang-orang membuang recehannya, entah karena terhibur atau sekedar iseng …
Malam itu, kota Dublin tengah bergegas menuju peristirahatannya. Praktis, tak banyak yang peduli pada lengkingan suara sang musisi. Semuanya hanya berlalu lalang, acuh dan tak peduli. Hingga perkecualian kemudian datang. Seorang gadis berhenti dan berdiri tepat dihadapannya. Kepalanya mengagguk pekan mengikuti lagu dimainkan, selayaknya orang sudah akrab dengan lagu tersebut. Segegas kemudian, dia bertepuk tangan kagum saat musisi itu usai memainkan lagunya.
Selanjutnya, berbagai hal berjalan dalam konteks ‘kebetulan’ …
Kebetulan sang gadis mengagumi lagu dari sang musisi tersebut, dan kebetulan juga sang musisi tengah mencari orang yang berkenan mengagumi hasil karyanya. Kebetulan juga sang Musisi itu bekerja sebagai tukang perbaiki Vacuum Cleaner, dan kebetulan pula sang gadis memiliki vacuum cleaner yang harus diperbaiki. Maka klop lah sudah. .!!! dan pertemuan mereka pun, tak lantas berakhir di hari itu . . . .
Pertemuan selanjutnya, berbagai hal baru mulai saling menemu diantara mereka. Sang gadis, yang sepanjang film ini tak disebut namanya, ternyata juga seorang musisi. Jemarinya handal memainkan piano. Dan itu berkat didikan ayahnya, seorang pemain violin yang kemudian harus bunuh diri secara tragis karena tekanan kehidupan. Gadis itu sendiri adalah seorang imigran asal Ceko yang coba memperbaiki kehidupannya di Dublin. Di perantauannya ini, dia tinggal di sebuah flat sederhana bersama ibu dan seorang anaknya, Ivonka.
Selama di Dublin, sang gadis tak memiliki banyak kesempatan untuk menjajal kemampuan pianis-nya. Bagi dia, yang hanya menyambung hidup sebagai penjual bunga, harga piano terlalu jauh dari jangkauan. Memiliki benda seni itu hanya sebatas impian yang terus meretas, namun berbatas. Satu-satunya kesempatan dia untuk menyentuh piano, adalah di sebuah toko musik kecil yang tak jauh dari tempat kerjanya. Di toko itu, sang gadis diperkenankan untuk memainkan piano yang tengah terpajang untuk dijual. Waktunya tak banyak. Hanya satu jam, saat sang pemilik toko tengah beristirahat untuk makan siang. … Di tempat itu pula untuk pertama kalinya Sang Gadis menunjukkan kepiawaianya ber-piano pada Sang Musisi. Dan di tempat itu pula, dia sukses membuat takjub Sang Musisi usai memainkan sebuah maha karya dari Mondelsson. Maka kolaborasi mereka berdua, dimulailah. Lagu karya Sang Musisi dimainkan, dan diiringi permainan piano dari Sang Gadis.
Waktu berlanjut, ikatan diantara mereka terus terbangun. Tak hanya persoalan musik semata, mereka juga saling membuka ruang personal diantara mereka. Dokumen historis kehidupan yang saling dibagi dan diceritakan. Tentang bagaimana kehidupan ‘Sang Gadis’ yang masih belum menemukan keutuhan cinta dari suaminya, dan juga tentang ‘Sang Musisi’ yang baru ditinggalkan oleh wanita-nya. Sekilas, mereka seakan bergerak pada pengalaman emosional yang tak jauh. Ada rasa keterasingan dari orang-orang yang mereka cintai. Mereka ditinggalkan, dan tengah membangun kehidupan mereka dengan cara yang tak sama lagi. Dalam situasi itulah, mereka bertemu dan kemudian saling menemukan tempat berpijak, walau sekedar sementara.. . . . .
Mereka berdua tahu, bahwa mereka tak akan pernah menjadi ‘bersama’. Walau mereka juga tahu, bahwa mereka telah saling menyukai. Sebab masih ada rekatan antara mereka berdua, dengan ‘cinta’ mereka masing-masing. ‘Sang Gadis’ punya seorang Ivonka, buah cinta dia dengan lelaki yang telah menjadi suaminya. Sementara ‘Sang Musisi’, memiliki sederet lagu hebat yang dia buat untuk wanita yang dicintainya. Masing-masing perekat itulah yang membuat mereka yakin, bahwa suatu saat nanti, mereka harus kembali pada masa lalu mereka masing-masing.
Bagi Sang Musisi, yang menjadi sentrum cerita dari film ini, kehadiran ‘Sang Gadis’ dalam satu periode perjalanan kehidupannya, merupakan titik penting yang mengesankan. Ada gairah baru yang dia rasakan. Ada yang mengisi ruang kosong dalam hatinya, walau tidak untuk selamanya. ‘Sang Gadis’ jugalah yang menuntun dia untuk berani mewujudkan satu impian besarnya, Membuat Rekaman Dari Lagu-Lagu Ciptaan-nya. Mengangkat derajat dari karya ‘Sang Musisi’. Dari sekedar lagu jalanan, menjadi bisa diperdengarkan lebih luas. Dan tidak hanya mendorong, Sang Gadis pun menjadi bagian dari proses itu.
Namun sekali lagi, film ini tak berakhir dengan penyatuan mereka. Tak ada lanjutan alir asmara antara mereka. Sang Musisi, memutuskan untuk hijrah ke London untuk menemui wanitanya, juga dengan membungkus harapan untuk membesarkan karya-karyanya. Sementara ‘Sang Gadis’, tetap melanjutkan kehidupannya di Kota Dublin yang sengau itu. Pada saat yang bersamaan, lelaki yang menjadi ayah dari anaknya hadir kembali di sisinya …. Semuanya, seakan berlangsung tepat. Dan bagi mereka, tak ada kesedihan dalam keberpisahan. Semuanya bisa tersenyum.
*****
Setiap kita mungkin pernah seperti itu. Bertemu dengan ‘seseorang’ yang membantu kita untuk beranjak lebih jauh. Menyisipkan dirinya dalam rangkaian panjang mimpi besar yang tengah kita retas. Menjadi pemompa semangat, dan melahirkan keyakinan dalam setiap langkah yang kita buat. Dan yang harus kita pahami, ‘seseorang’ itu bisa saja tak menetap lama di kehidupan kita. Dia mungkin akan beranjak. Tapi percayalah, jejaknya akan terus tertinggal dalam setiap butiran peluh perjuangan kita. Yang pasti, seseorang seperti itu tak banyak, dan mungkin tak akan bisa banyak. Tepat seperti yang tertulis dalam cover film ini .. ” How often do you find a right person in your life . . ? ONCE
Sesungguhnya, tidak ada yang begitu ‘menonjol’ dalam rangkaian cerita film ini. Mungkin tak ada dramatisasi yang berlebihan, tak ada pula peluk bahagia yang berlebihan dan tak ada derai tangis yang membajiri. Semuanya berlalu dalam konteks yang biasa saja. Film ini bahkan terlihat seperti sebuah dokumenter dengan kamera yang terus bergoyang dan bergetar. Dalam film konvensional, sebagaimana yang banyak berdear di luar sana. Ada banyak hal yang harus dilebih-lebihkan. Karena dalam pemutaran 2 jam itu, film harus bisa menanamkan karakter imaji tertentu pada tokoh-tokohnya. . Makanya, semuanya harus serba berlebihan. Dari yang berlebihan itu, akan mudah membelah mana yang jahat, mana yang baik, mana yang tulus, mana yang ingkar dan lain seterusnya . . Penokohan film ini, hanya beringsut pada kehidupan mereka, dengan selipan masa lalu. Mungkin tak akan ada kesan khusus tentang sifat mereka.
Penggambaran seperti itu, setidaknya bagiku, justru membuat film ini menjadi menarik. Tidak ada yang hiperbolis dan tak ada yang dilebih-lebihkan. Kita akan sulit membedah, atau mungkin memang kita tidak di harapkan untuk menyematkan sifat khusus bagi karakter-karakter di film ini. Maka kisahnya pun menjadi begitu membumi. Seperti melihat saja kesaharian orang lain yang tengah berjalan dan mencoba mengidentikkannya dengan pengalaman kita sebagai manusia biasa. Tanpa kesedihan yang berlebihan, tanpa kemarahan yang berlebihan, tanpa sifat jahat yang berlebihan dan tanpa kebaikan yang berlebihan. Hingga bagi sebagian orang, mereka akan mudah menyusup dalam tingkatan yang sama dengan para pemeran di film ini. Dan mungkin termasuk kita . . .