“Look what these bas**rds have done to Wales. They’ve taken our coal, our water, our steel. They buy our homes and live in them for a fortnight every year. What have they given us? Absolutely nothing. We’ve been exploited, raped, controlled and punished by the English – and that’s who you are playing this afternoon. The English.”
Saya menemukan kutipan ini diangkat banyak media jelang Inggris kontra Wales di ajang EURO 2016 malam nanti. Hanya saja, teriakan pemompa semangat berselip kemarahan ini bukan terjadi di pertadingan sepakbola, melainkan rugby olahraga yang juga populer di tanah Britania Raya. Jarak kejadiannya pun sudah jauh, tahun 1977 silam saat tim Rugby kedua negara bertemu di ajang Rugby Union.
Kenapa kutipan legendaris dari olahraga lain yang terjadi lebih dari 3 dekade silam dianggap penting untuk di putar kembali?. Mungkin karena selama ini memang tidak ada banyak cerita tentang rivalitas kedua tim ini di ajang sepakbola, sementara media tetap butuh sesuatu untuk ‘memanaskan’ suasana menjelang duel penting nanti.
Sejarah kedua negara, lebih punya banyak cerita panas. Bagi sebagian orang Inggris, Wales, tak ubahnya wilayah-wilayah di seberang perbatasan lainnya, tertinggal dan tidak berperadaban. Serupa ketika orang-orang di The seven Kingdoms dalam Game of Thrones memandang para Wildlings di luar tembok utara. Sebaliknya, bagi Wales yang konon merupakan koloni pertama dari kerajaan Inggris, sentiment anti Inggris sudah berdengung sejak hari pertama mereka dikuasai. Ada kegusaran seiring semakin menyusutnya nilai-nilai kebudayaan asli Wales karena adanya tekanan secara social, politik dan ekonomi dari kerajaan Inggris. Tak sekedar itu, hingga tahun 1994, masih terjadi serangan sporadis terhadap perumahan-perumahan milik orang Ingggris di sejumlah kota di Wales. Mereka marah dan kecewa karena adanya arus migrasi orang Inggris ke wilayah mereka. Situasi yang membuka ruang eksploitasi terhadap sumberdaya dan perkonomian lokal.
Di sepakbola, datang cerita yang berbeda. Motif ekonomi dan keinginan meraup keuntungan justru menjadi alasan penting bagi sejumlah klub asal Wales untuk ikut berkompetisi di liga sepakbola professional Inggris. Berpuluh-puluh tahun lalu, sepakbola di Wales kalah popular dibanding Rugby. Pertandingan-pertandingan bola lojong itu lebih mampu mengundang penonton dan pengiklan dibanding perhelatan sepakbola. Beberapa klub semi professional asal Wales pun memilih berkompetisi di negara tetangga, Inggris, dimana sepakbola terlihat lebih menjanjikan. Awal tahun 1990an, Liga sepakbola professional Wales terbentuk dan klub-klub tersebut dipanggil untuk bergabung, namun mereka menolak. Jadilah, disaat-saat ini, kita bisa menyaksikan Swansea City ikut bertarung di Liga Utama Inggris, dan bahkan sempat memenangkan Piala liga Inggris beberapa tahun lalu. Di level bawah, ada Cardiff City yang juga sudah mencicip atmosfer Liga Utama Inggris, kemudian Wrexham dan Newport.
Sepakbola Inggris tidak hanya memberi ruang berkembang bagi klub-klub asal Wales. Para pemainnya pun merasakan manfaatnya. Buka saja daftar pemain yang berada di kubu Wales di ajang ini, hampir semua berasal dari klub-klub yang berkompetisi di berbagai level di liga sepakbola Inggris. Sulit menafikan peran dari berkompetisi di liga Inggris terhadap terbangunnya tim Wales yang solid yang akhirnya mampu mencicipi turnamen sepakbola tertinggi Eropa untuk pertama kalinya.
***
Jelang pertandingan, cerita perseteruan belum tampil dipermukaan atau mungkin tertutupi. Alih-alih, kedua kelompok supporter yang tengah berada di Prancis saat ini mungkin tengah bergandengan tangan. Mereka tengah menghadapi ancaman yang sama : pendukung garis keras Rusia. Kemarin, tanpa adanya provokasi, geng Rusia ini menyerang sebuah bar yang berisi gabungan pendukung Inggris dan Wales. Video yang beredar memperlihatkan adu lempar botol antar kedua kelompok yang untungnya cepat dilerai oleh aparat. Para Fans Inggris sudah merasakan keganasan pendukung Rusia ini saat tim mereka bertanding di Marseille pekan lalu. Sementara Wales baru akan menghadapi Rusia sepekan mendatang. Bisa dipastikan potensi keributan akan sama bagi mereka.
Pemantik rivalitas antara Inggris dan Wales itu bisa jadi sedang tersimpan di stadion Stade Bollaert-Dalelis, Lens. Ketika para pendudukung sudah berkumpul di tribun-tribun stadium dan kedua tim sudah memasuki lapangan. Pendukung Inggris akan tetap bersorak dengan sikap ‘superior complex’-nya sembari menyanyikan dengan keras “well’do what what we want, we’ll do what we want”. Sementara pendukung Wales akan hadir dengan kepala tegak sebagai pemuncak klasemen sementara di grup B.
Ini pertemuan pertama mereka di ajang turnamen resmi. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi, dan perhelatan EURO 2016 sepekan ini sudah mengkonfirmasi ‘ketidak-pastian’ itu. Mungkin saja cerita itu akan berupa “Gol injury time Gareth Bale menipiskan peluang Inggris lolos dari Grup?”, atau bisa juga “Duet Kane-Vardy sukses membekap Wales”.
Apapun hasil yang ada nanti akan menjadi cerita penting dan babak awal dari rivalitas kedua negara. Hingga di lain waktu nanti ketika kedua tim kembali bertemu, media-media tak perlu mengulik kutipan lama dari cabang lain sebagai bumbu penyedap berita mereka.
Saya sendiri sedang berharap banyak untuk kehadiran cerita seperti ini : “Dua gol pemain muda Markus Rashford memenangkan Inggris atas Wales di pertandingan yang diwarnai 3 kartu merah dan 8 kartu kuning”.
Poso, 16 Juni 2016Jun (pendukung Inggris)
Ngopi-ngopi menunggu Beduk buka . . #ehhh