“Luar biasa. Inggris keluar dari EURO dua kali dalam sepekan ini”.
Tidak ada kalimat yang lebih populer dari itu dalam beberapa hari terakhir ini.
‘Dua kali’ yang dimaksud disitu Itu, tentunya merujuk pada dua hal: hasil referendum ‘Brexit’ dimana Inggris keluar dari Uni Eopa; dan tersingkirnya tim sepakbola Inggris dari ajang Piala Eropa 2016 oleh tim mungil Islandia. Dua hal tersebut menjadi semacam lelucon yang membingungkan. Iya, sebab terdengar ganjil dan sulit dipahami.
Sulit memahami jika ternyata mayoritas warga Inggris lebih memilih keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri, James Cameroon sendiri konon tidak menyangka hasilnya seperti ini. Dia memutuskan berani menggelar referendum karena yakin mayoritas warganya akan memilih tetap menjadi bagian dari European Union (EU). Hingga kemudian kenyataan datang dengan cerita berbeda.
Sulit juga memahami kenapa timnas Inggris bisa masuk kotak oleh debutan yang oleh Gary Lineker disebut sebagai negara yang mempunyai lebih banyak gunung berapi dibanding pesepakbola profesional.
Bagi Inggris, kegagalan ini adalah perulangan yang menggemaskan. Menggemaskan, karena mereka selalu hadir diturnamen besar, baik Piala Dunia maupun Piala Eropa, sebagai salah satu unggulan dan selalu pula tidak pernah beranjak jauh. Pencapaian terbaik terakhir: Menjadi semifinalis saat Piala Eropa digelar di tanah mereka sendiri, tahun 1996 silam.
Iya, Menggemaskan!! sebab Inggris memiliki liga sepakbola yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia.
Sepanjang musim lalu, rata-rata ada sekitar 12,5 juta orang yang menyaksikan pertandingan klub-klub Inggris tiap pekannya. Jauh mengungguli liga-liga lain semacam Seri A Italia (4,5 juta), La Liga Spanyol (2,2 juta) dan Bundesliga Jerman (2 juta). Popularitas dan harga jual berjalan beriringan dan jumlah penonton sebesar itu membuat harga hak siar terus melangit tinggi. Harga terbaru, stasiun TV mesti membayar 3 milliar poundsterling untuk itu, atau empat kali lipat harga seri A Liga Italia.
Semenjak popularitasnya menanjak, klub-klub Inggris mulai dilirik oleh pemodal asing. Satu-persatu mereka datang dan mengambil alih kepemilikan. Keterlibatan sejumlah taipan dunia sebagai pemilik klub ini, membuat perputaran uang semakin besar dan kencang. Saat ini, sebagian besar klub-klub papan atas di Liga Inggris sudah menjadi aset dari milyuner mancanegara. Mereka tak pernah segan menaruh uang berapapun untuk klub yang dimilikinya. Dengan suntikan itu, nilai klub-klub di Inggris meroket naik dan mendominasi daftar 10 besar klub sepakbola bernilai tertinggi di dunia.
Hanya saja, kabar perihal geliat Industrialiasasi dan globalisasi sepakbola Inggris tidak diikuti dengan membaiknya prestasi Timnas. Berbanding terbalik dengan EPL yang semakin mengkilau dalam dua dekade terakhir, The Three Lions senantiasa megap-megap disetiap pergelaran turnamen sebelum akhirnya mesti pulang lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Belakangan, kondisinya seakan kian memburuk.
Ada yang menyebutkan, ini adalah dampak keterasingan pemain-pemain lokal Inggris di tengah globalisasi kompetisi domestik mereka. Kualitas orang-orang yang mengisi timnas cenderung merosot. Di level klub, keberadan pemain Inggris semakin terdesak oleh arus deras masuknya pemain-pemain dari berbagai negara lain. Persaingan memperoleh jam terbang semakin keras. Tim-tim besar yang didukung pemilik tajir mendatangkan begitu banyak pemain asing.
Kondisi yang sudah berlangsung lama dan dampaknya mulai terasa di hari-hari ini.
Pilar timnas Jerman, Thomas Mueller pun turut menyuarakan keprihatinan. Pemain muda Inggris akan sulit menembus tim utama karena terlalu banyak pemain asing berkualitas bagus di klub-klub besar Inggris, sebutnya. “Berbeda dengan kami disini”. Muller mengacu ke Bundesliga Jerman, tempatnya berkiprah. Di Jerman, raksasa Bayern Muenchen terus memproduksi pemain dan mengakuisisi pemain lokal yang tampil bagus di klub lain. Di Italia, Juventus merangkul sejumlah pemain lokal untuk bergabung. Dua raksasa Spanyol, Barcelona dan Real Madrid pun melakukan hal yang sama. Disana, para pemain lokal mendapat tempaan kompetisi lokal dan Eropa serta diasah mental pemenangnya. Mereka inilah yang kemudian banyak mewarnai timnas negaranya masing-masing dalam beberapa tahun terakhir.
Di Inggris, fenomena seperti itu tak begitu terjadi. Sejumlah klub yang rajin meraih trofi justru tak punya banyak stok pemain lokal. Di ajang EURO 2016 kali ini, kontributor pemain terbesar adalah Tottenham Hotspurs, dan Liverpool. Kedua klub bukan pemuncak dan belum pernah merasakan juara Liga dalam 20 tahun terakhir. Adapun klub-klub dominan semacam Manchester City, Chelsea dan Arsenal tak punya banyak pemain yang bisa di tawarkan. Sementara Manchester United, belum keluar sepenuhnya dari transisi panjang meski masih sempat menyumbang 3 pemain untuk timnas.
Petinggi asosiasi sepakbola Inggris (FA), Greg Dyke menyebutkan bahwa pemain-pemian Inggris saat ini sudah menjadi semacam ‘Endangered Species’ atau spesies langka’. Dia merujuk ke angka partisipasi pemain Inggris di pertandingan pembuka EPL awal musim lalu. Saat ini, dari 220 pemain di 20 klub yang berlaga, hanya ada 73 pemain Inggris atau 33,2%. Angka ini jauh lebih rendah dibanding Pemain Italia yang berlaga di Seri-A (43%), pemain Jerman yang berlada di Bundesliga (48%) dan pemain Spanyol yang tampil di La Liga (58%). Bandingkan saat EPL pertama kali digulirkan 1992 silam, 69% yang tampil adalah pemain Inggris. Di awal musim lalu, total ada 528 pemain yang terdaftar di EPL, dan yang berstatus pemain Inggris hanya 178 orang.
Semangat Yang Hilang
Beberapa tahun lalu, saya menemukan dokumenter menarik tentang ‘orang-orang yang marah’ yang diproduksi oleh Al Jazeera. Mereka ini, orang-orang yang kecewa dengan perkembangan dan fenomena globalisasi EPL. Ada banyak perubahan, yang mereka tidak bisa sejalan dengan kesemuanya itu. Klub-klub sepakbola Inggris, menurut mereka, sudah bermetamorfosa menjadi institusi bisnis pengeruk keuntungan, dan bukan lagi entitas yang mengukuhkan identitas mereka. Ada semangat berkomunitas yang semakin tergerus. Mereka ini, tentunya sedang berbicara tentang komunitas lokal, dimana mereka lahir dan bertumbuh, dan dimana klub-klub itu berada.
Tuntutan mengejar profit sebanyak mungkin membuat banyak pengurus klub terus menerus menaikkan harga jual tiket masuk ke pertandingan. Bukan rahasia lagi, tiket masuk ke pertandingan EPL merupakan yang termahal dibanding liga-liga lain jika diambil secara rata-rata. Incaran utama dari kebijakan itu adalah para pelancong penikmat sepakbola mancanegara. Mereka ini, rela membayar berapapun asal bisa mengalami langsung apa yang selama ini hanya mereka lihat di televisi. Belakangan, tidak kurang dari 40% wisatawan asing yang masuk ke Inggris, menjadikan sepakbola sebagai alasan utama kedatangannya. Dorongan untuk memaksimalkan profit membuat alokasi kursi stadion untuk para pelancong semakin diperbesar begitupun harga jualnya. Konsekuensinya, supporter lokal semakin tergerus. Harga tiket semakin tidak terjangkau oleh mereka yang berasal dari kelas pekerja.
Sejumlah supporter klub besar yang kecewa mengambil jalan lain. Diantara mereka ada yang membuat klub sendiri sebagai simbol perlawanan sekaligus untuk mengembalikan semangat ‘berkomunitas’ yang pernah ada. Supporter Manchester United misalnya, memiliki FC United yang berlaga di kompetisi semi-professional.
Beriringan dengan itu, sentiment anti asing mulai menyisip. Sebab sepakbola mungkin terasa semakin ‘asing’ bagi mereka yang kecewa ini. Para pemodal itu, nama-nama pemain itu, serta orang-orang yang datang ke stadion itu. Segala hal yang terkait dengan industrialisasi dan globalisasi telah mencerabut banyak hal dalam kultur sepakbola Inggris itu sendiri. Ruang partisipasi mereka semakin menyusut bahkan mungkin hilang sama sekali, digantikan oleh para pemilik modal. Kesempatan-kesempatan yang semakin terkikis, baik sebagai pelaku sepakbola itu sendiri, ataupun sebagai supporter pendukung.
Dan perlahan, kita pun mulai bisa menemukan sedikit petunjuk kenapa prestasi Timnas Inggris cenderung stagnan atau mungkin memburuk ditengah hagemoni dan gemerlap Liga Sepakbola-nya itu.
Dan pada saat yang sama, kita juga bisa mulai mengerti kenapa Brexit bisa memenangkan voting tempo hari.
Poso, 29 Juni 2016
Junaedi Uko